Blue Spinning Frozen Snowflake

Sabtu, 29 November 2014

Kearifan Lokal Suku Baduy Part.2



Perenialisme The Experience In Earth Baduy

21 Desember 2011 Nyaba Bumi Baduy



Cerita Dulu.......

Kalau jalan-jalan, liburan, traveling atau hangout pasti  asiknya pergi ke tempat-tempat atau daerah yang enak dan tentunya mudah untuk di kunjungi serta fasilitas, objek wisata, jarak perjalanan/rute dan sesuatu yang disuguhkan sangatlah membuat kita nyaman dan tetap pada dunia modern yang masih tersentuh. Tapi apa kalian tidak pernah menyadari bahwa ada tempat atau daerah yang ternyata menyimpan sebuah keindahan alam yang eksotis dan luar biasa dari penciptaan Tuhan yang Maha Esa. Ya ada yang mempunyai banyak sejarah yang tersimpan dari dalamnya, serta penuh dengan rahasia mistis yang konon ada di dalamnya. Kalau begitu pasti seru dan membuat penasaran, tapi bisa saja malah membuat orang jadi takut atau enggan untuk datang ke daerah tersebut. Daerah yang saya ceritakan sedikit itu yaitu namanya “Baduy” terdapat di kecamatan rangkasbitung, kabupaten lebak.
Kenang-kenang di Baduy (Gajebo)

Wow sedikit prolog yang disampaikan, mungkin harus disertai dengan pembuktian yang yata. Gak kebanyang deh bisa datang ke tempat dengan penuh hal yang menarik, Ya kesempatan bisa datang dan langsung merasakan kehidupan 2 hari 1 malam, membuat diri ini seperti baru menyadari arti kehidupan yang begitu bermakna. Karena kenapa berbedaan yang paling menarik yakni, orang Baduy yang jauh dengan hiruk pikuk kehidupan modern. Dan tak terbanyang bisa bermalam tinggal di daerah yang jauh dari mana-mana, hanya ada hutan, kebun, sawah, ladang, sungai dan pedesaan yang menyendiri dari kota. Tanpa aliran listrik, dsn sinyal apapun yang menjadi tanda dari peradaban modern. 

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).

Tanda Peringatan/Pemberitahuan

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek a–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes ‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Urang Kanekes
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai ‘Tatar Sunda’ yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). 

Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

Pakaian Adat Suku Baduy
Ada versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika Kian Santang putra prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita, dengan ‘wangsit siliwangi’ yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di baduy dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh ki saih seorang yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet.dan ki saih ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin :

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)

 
Jembatan di Baduy ( Penghubung Baduy Luar ke Baduy Dalam )
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan.

Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam. 
 
Orang Kanekes, Baduy Luar

Baduy Luar
Baduy Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Baduy Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkanya warga Baduy Dalam ke Baduy Luar. Pada dasarnya, peraturan yang ada di baduy luar dan baduy dalam itu hampir sama, tetapi baduy luar lebih mengenal teknologi dibanding baduy dalam.
Rumah dan Lumbung ( terbuat dari bahan Alam)

Penyebab

1. Mereka telah melanggar adat masyarakat Baduy Dalam.

2.     Berkeinginan untuk keluar dari Baduy Dalam

3.     Menikah dengan anggota Baduy Luar

4.  Proses Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Baduy Dalam.

5. Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.

Orang Kanekes, Baduy Dalam

Baduy Dalam

Baduy Dalam adalah bagian dari keseluruhan Suku Baduy. Tidak seperti Baduy Luar, warga Baduy Dalam masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang mereka.
 Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Baduy Dalam antara lain:


1. Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi

2.      Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki

3.      Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Puun)

4.  Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)Menggunakan Kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.

Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat).

Anka-anak Urang Kanekes
Masyarakat adat Baduy sebagai suatu lembaga sosial yang berada dalam sebuah keseimbangan telah memolakan kegiatan komunitasnya berdasarkan norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sakral dan harus dipatuhi olah setiap anggota masyakaratnya. Bila terjadi perubahan pada salah satu bagian, mereka percaya hal itu akan mempengaruhi bagian lain yang pada akhirnya mempengaruhi sistem keseluruhan. Oleh karenanya, perubahan budaya pada masyarakat adat Baduy senantiasa dilahirkan dari perubahan makna dan nilai yang didasarkan atas pemuasan terhadap kebutuhan yang benar-benar tidak bisa dielakan.

Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan banten yang memasukkan Kanekes ke dalam wilayahnya tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan (pengakuan) kepada penguasa Kesultanan Banten, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) ke Kesultanan Banten (Garna,1993).

Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan dalam kurun waktu satu tahun sekali kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes (khususnya Baduy Luar) kerap berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.

Peningkatan penduduk di daerah Kanekes juga ikut membawa arus perkembangan dalam pola kehidupan mereka. Pertumbuhan penduduk Baduy yang relatif pesat (6-8% per tahun) telah mengakibatkan perkembangan nilai kehidupan di Suku Baduy. Salah satunya terlihat telah mengakibatkan tekanan pada sektor mata pencaharian dan perekonomian yang tidak lagi dapat ditampung oleh sektor pertanian. Di samping adanya kenyataan bahwa pertambahan jumlah kampung di Desa Kanekes tersebut juga telah menunjukkan lahan garapan mereka semakin didesak oleh keperluan lahan untuk penyediaan permukiman. Menenun kemudian menjadi salah satu bagian dari sektor kerajinan yang diangkat guna memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
Jelajah Ke Baduy Dalam Kurang lebih 6 jam




Wisatawan






Padasaat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.

Urang Baduy Ka Kota
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Orang baduy adalah orang yang sangat menghargai Alam raya, karena mereka sangat menjaga, memelihara, merawat dan mereka sadar pentingnya mengelola sumber Alam yang melimpah ini, orang baduy sadar sekali dengan segala keterbatasan dunia modern yang tidak bisa didekati, makanya mereka harus bisa berbijak di Alam dengan mandiri serta dengan memenuhi kebutuhan hidupnya mereka harus mengelola dan mengahasilkan sesuatu dari pemanfaatan sumber Alam.

Panen Durian Hasil Panen Orang Baduy
Seperti contoh dalam dunia pekerjaan/ aktivitas dalam kebutuhan hidup dengan, bercocok tanam, yaitu padi, jagung, ubi-ubi, buah-buahan dll.itu semua di kerjakan dengan ilmu/kebiaaan yang terlahir dari nenek moyang dan Alam sekitar yang membuat orang baduy bisa bertahan hidup serta mencukupi keluarganya. Itu dilakukan bukan oleh para laki-laki dewasa/bapak-bapaknya saja, tapi anak-anak juga sudah diajarkan untuk hidup bersatu dengan Alam baduy.

Sedangkan Para wanita mereka lebih suka berada di rumah, atau para ibu biasanya saling bekerjasama untuk memasak atau menumbuk padi. Atau pun melakukan aktivitas yang memang dilakukan oleh seorang wanita. Konon wanita asli baduy itu sangat murni pembawaan dan penampilannya atau cantil asli tanpa polesan make up. Makanya para gadis hampir berkulit putih asli. Serta wanita belia biasanya dinikahkan dalam masa muda apabila sudah balig atau menginjak masa pubersitas. Dengan memakai adat istiadatnya.

Wanita Baduy Menenun
Orang baduy sangatlah kreatif atau mempunya keterampilan yang baik dalam mengolah bahan dari Alam yang dijadikan sesutu yang bernilai berharga serta mempunyai nilai material yang bisa menjadi penghasilannya, seperti membuat kerajinan membuat kain tenun has urang baduy.

Kegiatan menenun dilakukan pada waktu senggang di siang hari oleh wanita-wanita Baduy setelah mereka memasak, membenahi rumah, mengurus anak, mencari kayu bakar, dan pergi ke ladang. Sehingga tidak ada waktu senggang yang mereka lewatkan, karena mereka gunakan untuk bertenun.

Proses pembuatan kain tenun Baduy dibagi menjadi dua bagian, yaitu proses persiapan dan proses penenunan. Masyarakakat Baduy menenun dengan alat tenun yang oleh Urang Kanekes lebih dikenal dengan sebutan pakara atau raraga (seperangkat alat tenun). Sampai saat ini, kebanyakan para perajin tenun Baduy masih menggunakan alat tenun tradisional yang terbuat dari konstruksi kayu dan bambu yang kurang lebih berukuran 2 x 1.5 meter sebagai tempat merentangkan benang yang akan ditenun dalam proses penenunan seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.


Keterangan Gambar:
a) Caor/dodogong, sebilah papan yang diletakkan horizontal, sebagai sandaran punggung penenun. Selain itu berfungsi jug untuk menarik kain tenunan agar terbentang kencang.
b) Taropong, sepotong bambu (tamiang), tempat memasukkan benang kanteh (pakan).
c) Tali caor, tali yang mengikatkan bilah caor dengan kain yang ditenun di sebelah kiri dan kanan penenun.
d) Suri/Sisir, alat berbentuk sisir, untuk membereskan benang pakan dan benang lusi.
e) Hapit, bilahan papan untuk menggulung kain hasil tenun.
f) Barera, sebilah kayu alat bertenun untuk merapatkan benang pakan agar kain tenun menjadi rapat
g) Jingjingan, bagian dari gedogan, tempat menambatkan lusi.
h) Limbuhan, sebilah kayu yang memanjang seperti mistar berbentuk bulat untuk merenggangkan kedudukan benang tenun
i) Kekedal, patitihan, totojer, bilahan kayu tempat kaki penenun bertelekan
j) Rorogan, sebilah kayu alat penahan berera, terletak sebelah kanan penenun.
k) Totogan, bilahan papan/kayu sebagai alat penahan ketika proses bertenun.
l) Cangcangan, bilahan papan/kayu, sebagai penguat alat bertenun

Panen Durian (Penghasilan)
Sejalan dengan perkembangannya, tenun Baduy yang pada dekade 80-an masih digunakan sebagai media pertukaran barter, kini telah berkembang dan masuk dalam sektor-sektor perekonomian penting bagi masyarakat adat Baduy. Menurut hasil wawancara dengan beberapa tokoh dan masayarakat Baduy, tenun pada masa lalu digunakan sebagai alat pembayaran bagi pola perekomonian mereka. Seorang yang diminta untuk menggarap lahan selain di bayar menggunakan hasil garapan tersebut (dua hari kerja diganti dengan tiga ikat padi), bagi mereka yang membutuhkan kain tenun dan tidak bisa menenun akan dibayar dengan menggunakan kain tenun sebagai pengganti padi. (wawancara Erwin, 9 April 2011).
Menenun sebagai Kegiatan yang dilakukan Para Wanita Baduy
Tenun juga menjadi bagian dari sistem pertukaran dengan barang lain yang mereka butuhkan sehari-hari. Ketika satu hasil kerajinan mereka ditukar dengan menggunakan tenun, ukuran pembayaran ini ditentukan dengan kesepakatan kedua belah pihak. Tenun yang dibuat oleh Masyarakat Adat Baduy, lambat laun telah melekat menjadi jati diri yang menjadi ciri khas bagi masyarakatnya. Terutama kini tenun Baduy berfungsi sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang menunjang penghidupan dan mata pencaharian mereka.

Hasil Kain Tenun ( Kain Baduy )
Sektor ekonomi merupakan perangsang bagi sektor lain. Pada awalnya, perekonomian masyarakat adat Baduy lebih menggambarkan sistem yang tertutup, dalam arti aktivitas perekonomian dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari dan diproduksi serta dikosumsi di lingkungan mereka sendiri. Pada akhirnya, sektor ekonomi lah yang merangsang perubahan di sana. Suku Baduy kini telah akrab dengan sistem jual beli. Perubahan tersebut terjadi karena mereka dituntut untuk memenuhi kebutuhan ”keseharian” mereka dengan cara seperti itu.

Banyaknya kebutuhan yang timbul dan terjadinya perubahan karena perkembangan zaman mengakibatkan perkembangan budaya tidak dapat dihindari oleh masyarakat adat Baduy Luar. Pola hidup yang sebelumnya baku dan kaku, mulai tumbuh sikap keterbukaan terhadap pola-pola hidup modern. Bahkan sebagian dinilai telah mengadopsi gaya-gaya hidup masyarakat luar walaupun tidak secara draktis.
Pekerjaan
Meskipun Urang Kanekes telah cukup lama mengenal uang sebagai alat pembayaran berdampingan dengan sistem perekonomian pertukaran, barter. (wawancara Abah, 9 April 2010). Akan tetapi, pola pola pertukaran dengan sistem barter kadang tetap mereka lakukan antar sesama warga Baduy hingga saat ini. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger (wawancara Pulung, 9 April 2010). Hanya sedikit kini dari mereka yang menggunakan model pertukaran, uang sebagai alat penukarpun merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat adat Baduy.
photo di Gajebo Suku Baduy
Seni tenun Baduy yang pada awalnya untuk memenuhi kehidupan dan bagian dari keseharian mereka. Kini, menenun dapat juga dikategorikan sebagai kegiatan yang menambah dan membantu perekonomian Urang Kanekes berdampingan dengan kegiatan berladang. Menenun kini mempunyai nilai ekonomi. Nilai ekonomi inilah yang secara tidak langsung telah mengangkat derajat perempuan-perempuan Baduy dari sektor domestik ke sektor publik. Tenunan buatan Urang Kanekes sekarang mulai dijual kepada para pengunjung luar sebagai barang kerajinan khas untuk cenderamata.
Ya dari pengalaman dan cerita saya, serta dari bukti-bukti serta keterangan yang ada, bahwa orang Baduy atau Urang kanekes, lebih menjunjung tinggi arti kehidupan karena mereka menyakini bahwa Alam lah yang mampu untuk memberikan seasutu yang baik untuk mereka, dengan cara selalu menjaga, merawat, memelihara dan mengolah Alam dengan baik, benar dan bijak menurut pandangan dan pengetahuan mereka serta mereka menjunjung akan adat istiadat yang ada dari nenek moyang mereka hal ini khusus bagi orang baduy dalam yang menjadi ke aslian dari kehidupan modern. Tetapi warga baduy luar sudah memulai untuk membuka diri akan kehidupan modern yang berkembang melalui orang-orang yang berkunjung ke bumi baduy, walaupun mereka pun tetap menjaga kesakralan dan adat istiadat yang tidak boleh pudar dan luntur dari kepercayaan hidup mereka. Seperti menjalankan aktivitas jual beli dengan hasil dari kerajianannya

Kegiatan pemilu yang dilaksanakan dengan demokrasi bagi masyarakat baduy luar yang sudah mulai terbuka, tidak menutup diri.
Walaupun memang pendidikan yang masih susah untuk diberikan pada orang baduy luar atau baduy dalam, karena mereka belum disentuh dalam pentingnya dunia pendidikannya karena mereka belum menyadari saja. serta mereka berpandangan bahwa pendidikan itu bisa juga belajar dari Alam sekitar.
Hasil Kerajianan Masyarakat Baduy

Alat-alat Rumah Tangga










by: Kristin Anisa
Udahan Nya Cerita di Baduy Na......:)

Referensi :
1. www.alambudaya.com
2. www.barrykusuma.com
3. http://www.wacananusantara.org/seni-tenun-baduy/

Tidak ada komentar :

Posting Komentar