Masihkah Di Negeri Ku..??? Ada
Problematika Implementasi Kurikulum 2013
Problematika Implementasi Kurikulum 2013
Tulisan di bawah ini merupakan hasil
refleksi dari lapangan setelah bertemu dengan banyak guru dalam rangka
sosialisasi Kurikulum 2013. Sosialisasi itu sendiri bukan dilaksanakan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melainkan oleh yayasan sekolah swasta
atau kampus perguruan tinggi. Mereka penasaran ingin mengetahui grand design
(desain induk) Kurikulum 2013, yang selama ini diwacanakan melalui media massa
saja. Ternyata para guru, kepala sekolah, pengurus yayasan, dosen, maupun
mahasiswa banyak yang belum mengetahui desain induk Kurikulum 2013. Ini artinya
masalah sosialisasi itu sendiri minim.
Perubahan kurikulum, di mana pun, sebetulnya hampir
sama, selalu membutuhkan penyesuaian pola pikir para pemangku kepentingan (stake
holder). Demikian pula yang terjadi pada Kurikulum 2013 ini, ia hanya
mungkin sukses bila ada perubahan paradigma atau lebih tepatnya mindset para
guru dalam proses pembelajaran. Hal itu mengingat substansi perubahan dari
Kurikulum 2006 (KTSP) ke Kurikulum 2013 ini adalah perubahan proses
pembelajaran, dari pola pembelajaran ala bank, yaitu guru menulis di papan
tulis dan murid mencatat di buku serta guru menerangkan--sedangkan murid
mendengarkan menjadi proses pembelajaran yang lebih mengedepankan murid untuk
melakukan pengamatan, bertanya, mengeksplorasi, mencoba, dan
mengekspresikannya.
Proses pembelajaran yang mendorong siswa untuk aktif
tersebut hanya mungkin terwujud bila mindset guru telah berubah. Mereka
tidak lagi memiliki mindset bahwa mengajar harus di dalam kelas dan
menghadap ke papan tulis. Mengajar bisa dilakukan di perpustakaan, kebun, tanah
lapang, atau juga di sungai. Media pembelajaran pun tidak harus buku, alat
peraga, atau komputer. Tanam-tanaman dan pohon di kebun, sungai, dan sejenisnya
juga dapat menjadi media pembelajaran.
Mengubah mindset guru seperti itu tidak mudah,
karena sudah berpuluh tahun guru mengajar dengan model ala bank. Tidak mudah
bila tiba-tiba guru harus berubah menjadi seorang fasilitator dan motivator.
Mengubah mindset guru itulah pekerjaan rumah tersendiri bagi Kemendikbud
dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013. Kegagalan mengubah mindset guru
akan menjadi sumber kegagalan implementasi Kurikulum 2013.
Persoalannya adalah
perubahan mindset guru tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat,
melainkan butuh waktu bertahun-tahun, padahal Kurikulum 2013 itu harus
dilaksanakan dalam waktu secepatnya. Komprominya adalah persoalan teknis
dilatihkan dalam waktu satu minggu, tapi perubahan mindset harus
dilakukan terus-menerus dengan cara mendorong guru untuk terus belajar.
Problem di lapangan
Implementasi Kurikulum 2013 akan menemui sejumlah
masalah di lapangan. Selain persoalan paradigmatik, seperti mengubah mindset
guru tersebut, ada problem teknis yang berkaitan dengan perubahan struktur
kurikulum yang menyebabkan adanya pelajaran yang hilang maupun bertambahnya
jam. Semuanya itu berimplikasi pada nasib guru.
Pertama, penghapusan mata pelajaran TIK (teknologi
informasi dan komputer) di SMP berimplikasi besar terhadap eksistensi para
pengampu bidang TIK yang latar belakang pendidikannya TIK. Mereka akan
disalurkan ke mana? Pengajar TIK dengan latar belakang IPA, matematika, atau
lainnya dapat dengan mudah disalurkan ke mata pelajaran lain sesuai dengan
kompetensinya. Tapi tidak mudah bagi pengajar bidang TIK yang sudah
tersertifikasi. Mungkin mereka dapat disalurkan untuk mengajar prakarya yang
berbasiskan teknologi. Tapi masalahnya adalah apakah regulasi yang menyangkut
sertifikasi mendukung kebijakan tersebut. Bila tidak, guru pula yang akan
menjadi korban. Perebutan jam mengajar tetap akan terjadi untuk tetap dapat
mempertahankan sertifikasi.
Kedua, penjurusan/peminatan di SMA yang dimulai begitu
murid masuk di kelas I menimbulkan persoalan manajerial baru ihwal persyaratan
pemilihan jurusan/minat. Terutama bila para murid baru memilih
jurusan/peminatan di kelompok tertentu, misalnya kelompok matematika dan IPA
saja. Para kepala sekolah/guru di SMA harus cermat sekali dalam menampung minat
para calon murid agar tidak sering terjadi perpindahan jurusan/minat. Hal itu
mengingat murid boleh pindah minat. Tapi seringnya pindah minat murid akan
menyulitkan pengelolaan sekolah.
Masalah pilihan jurusan/minat itu sebaiknya
disosialisasi di kelas III SMP agar, ketika lulus SMP, murid sudah memiliki
gambaran mengenai jurusan/minat yang akan diambil saat masuk SMA. Penulis
menggunakan istilah “penjurusan” di sini, karena ternyata apa yang disebut
peminatan itu sama dengan penjurusan, hanya ditambah dengan boleh mengambil
bidang studi disiplin lain. Misalnya, kelompok matematika dan IPA boleh
mengambil antropologi. Atau, kelompok IPS boleh mengambil biologi. Tapi setiap
murid wajib mengambil semua mata pelajaran di kelompok peminatan. Ketika
perdebatan awal gagasan peminatan ini muncul, tidaklah demikian. Pada waktu
itu, diharapkan murid betul-betul mengambil materi yang diminati dan sesuai
dengan orientasi belajarnya di perguruan tinggi nantinya.
Ketiga, soal penambahan jam pelajaran di semua jenjang
pendidikan juga inkonsisten antara latar belakang penambahan dan
penerjemahannya dalam struktur kurikulum. Latar belakangnya adalah karena
adanya perubahan pendekatan proses pembelajaran, tapi dalam struktur kurikulum
terjadi penambahan jumlah jam mata pelajaran. Sebagai contoh, pendidikan agama
di SD kelas I-III dari dua menjadi empat jam seminggu, yang diikuti dengan
perumusan kompetensi dasar (KD) yang seimbang dengan jumlah jamnya, sehingga
yang terjadi tetap mengejar materi, bukan proses pembelajarannya yang dibenahi.
Semestinya yang diubah adalah lamanya tatap muka untuk setiap mata pelajaran,
misalnya tatap muka di SD kelas I-III saat ini per jam mata pelajaran itu
selama 35 menit, bisa ditambah menjadi 45 menit. Di SMP-SMTA, dari 45 menit per
jam pelajaran dapatditambah menjadi 60 menit per jam pelajaran, sehingga
proses pembelajarannya lebih leluasa.
Problem lain yang dimunculkan dari penambahan jam
pelajaran per minggu itu adalah makin menghilangkan otonomi sekolah, karena
waktu yang tersedia untuk mengembangkan kurikulum sendiri makin sempit. Bagi
sekolah-sekolah swasta, kurikulum baru jelas menimbulkan beban baru bagi
yayasan, karena harus memfasilitasi peningkatan kualitas guru lewat pelatihan,
pengadaan perpustakaan yang lengkap, dan pendidikan tambahan agar guru dapat
mengimplementasikan kurikulum baru tersebut secara baik, dengan biaya
ditanggung sendiri oleh pihak yayasan, yang ujungnya dipikul oleh para orang
tua murid.
Pada intinya Pendidikan di negeri ini harusnya berjalan dengan baik sesuai sistem yang sudah terrencana, apa boleh buat pendidikan di Indonesia memang harus terus dibenahi dan dievaluasi dari berbagai elemen-elemnnya. Sekarang tidak usah memperdebatkan atau permasalahkan tentang kurikulum baru yakni kurikulum 2013. Bagaimana pun juga kurikulum hanyalah alat dalam pengolahannya, tetapi implementasinya yakni menjadi tugas orang-orang yang mendapat amanah serta yang harus melaksanakannya yaitu tenaga-tenaga profesional seperti pemerintahan, kepala sekolah, serta guru lah yang banyak memainkan peran, dan juga siswa yang menjadi target dari output suatu pendidikan yang utama dan harus diutamakan. Tetapi jangan sampai ganti kepemimpinan suatu negara ganti pula kurikulumnya....apa kata dunia???
By: Kristin Anisa |
Referensi : http://www.tempo.co/read/kolom/2013/07/10/762/Problematika-Implementasi-Kurikulum-2013
Tidak ada komentar :
Posting Komentar