PUJANGGA
R. Ng. Ronggowarsito
KOLOTIDO
Salah satu cuplikan karya sastra tembang
"Sinom" dalam "Serat Kalatido" bab.8, seperti di bawah ini
:
- Amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi
- melu edan ora tahan
- yen tan melu anglakoni boya kaduman melik
- kaliren wekasanipun
- Dillalah karsaning Allah
- Sakbeja-bejane wong kang lali
- luwih beja kang eling lan waspada..
Apabila diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia kurang lebih berbunyi :
- Mengalami jaman gila, serba repot dalam bertindak,
- ikut gila tidak tahan
- jika tidak ikut berbuat gila tidak memperoleh bagian hak milik,
- akhirnya menjadi ketaparan.
- Namun dari kehendak Allah,
- seuntung untungnya orang yang lupa diri,
- masih lebih babagia orang yang ingat dan waspada.
Kemudian gubahan ini diakhiri dengan
sebaris gatra yang bersandiasma, berbunyi "bo-RONG ang-GA sa-WAR-ga me-SI
mar-TA-ya". Mengandung arti rasa berserah diri kehadapan Yang Maha Esa
yang rnenguasai alam sorga, tempat yang memuat kehidupan langgeng sejati.
Masyarakat Jawa tidak akan gampang
melupakan sastrawan dan pujangga besar bernama Raden Ngabehi (R. Ng.)
Ronggowarsito. Tokoh yang hidup pada masa ke-emasan Keraton Surakarta
tersebut adalah pujangga besar yang telah meninggalkan ‘warisan tak terharga’
berupa puluhan serat yang mempunyai nilai dan capaian estika
menakjubkan. Ketekunannya pada sastra, budaya, teologi serta ditunjang bakat,
mendudukkan ia sebagai pujangga terakhir Keraton Surakarta.
R. Ng. Ronggowarsito terlahir dengan
nama kecil Bagus Burham pada tahun 1728 J atau 1802 M, putra dari RM. Ng.
Pajangsworo. Kakeknya, R.T. Sastronagoro yang pertama kali menemukan
satu jiwa yang teguh dan bakat yang besar di balik kenakalan Burham kecil yang
memang terkenal bengal. Sastronagoro kemudian mengambil inisiatif untuk
mengirimnya nyantri ke Pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo asuhan Kyai
Kasan Besari.
Sebagai putra bangsawan Burham mempunyai
seorang emban bernama Ki Tanujoyo sebagai guru mistiknya. Di masa
kematangannya sebagai pujangga, Ronggowarsito dengan gamblang dan wijang
mampu menuangkan suara jaman dalam serat-serat yang ditulisnya. Ronggowarsito
memulai karirnya sebagai sastrawan dengan menulis Serat Jayengbaya
ketika masih menjadi mantri carik di Kadipaten Anom dengan sebutan M.
Ng. Sorotoko. Dalam serat ini dia berhasil menampilkan tokoh seorang
pengangguran bernama Jayengboyo yang konyol dan lincah bermain-main
dengan khayalannya tentang pekerjaan. Sebagai seorang intelektual,
Ronggowarsito menulis banyak hal tentang sisi kehidupan. Pemikirannya tentang
dunia tasawuf tertuang diantaranya dalam Serat Wirid Hidayatjati,
pengamatan sosialnya termuat dalam Serat Kalatidha, dan kelebihan
beliau dalam dunia ramalan terdapat dalam Serat Jaka Lodhang,
bahkan pada Serat Sabda Jati terdapat sebuah ramalan tentang saat
kematiannya sendiri.
Pertama mengabdi pada keraton Surakarta Hadiningrat dengan pangkat Jajar. Pangkat ini meembuatnya menyandang nama Mas Panjangswara., adalah putra sulung Raden Mas Tumenggung Sastranegara, pujangga kraton Surakarta.. Semasa kecil beliau diasuh oleh abdi yang amat kasih bernama Ki Tanudjaja. Hubungan dan pergaulan keduanya membuat Ranggawaraita memiliki jiwa cinta kasih dengan orang-orang kecil (wong cilik). Ki Tanudjaja mempengaruhi kepribadian Ranggawarsita dalam penghargaannya kepada wong cilik dan berkemampuan terbatas. Karena pergaulan itu, maka dikemudian hari, watak Bagus Burham berkembang menjadi semakin bijaksana.
Menjelang dewasa (1813 Masehi), ia pergi
berguru kepada Kyai Imam Besari dipondok Gebang Tinatar. Tanggung jawab selama
berguru itu sepenuhnya diserahkan pada Ki Tanudjaja. Ternyata telah lebih dua
bulan, tidak maju-rnaju, dan ia sangat ketinggalan dengan teman seangkatannya.
Disamping itu, Bagus Burham di Panaraga mempunyai tabiat buruk yang berupa
kesukaan berjudi. Dalam tempo kurang satu tahun bekal 500 reyal habis bahkan 2
(dua) kudanyapun telah dijual. Sedangkan kemajuannya dalam belajar belum
nampak., Kyai Imam Besari menyalahkan Ki Tanudjaja sebagai pamong yang selalu
menuruti kehendak Bagus Burham yang kurang baik itu. Akhirnya Bagus Burham dan
Ki Tanudjaja dengan diam-diam menghilang dari Pondok Gebang Tinatar menuju ke
Mara. Disini mereka tinggal di rumah Ki ngasan Ngali saudara sepupu Ki
Tanudjaja. Menurut rencana, dari Mara mereka akan menuju ke Kediri, untuk
menghadap Bupati Kediri Pangeran Adipati cakraningrat. Namun atas petunjuk Ki
Ngasan Nga1i, mereka berdua tidak perlu ke Kediri, melainkan cukup menunggu
kehadiran Sang Adipati Cakraningrat di Madiun saja, karena sang Adi pati akan
mampir di Madiun dalam rangka menghadap ke Kraton Surakarta.
Selama menunggu kehadiran Adipati
Cakraningrat itu, Bagus Burham dan Ki Tanudjaja berjualan 'klitikan' (barang
bekas yang bermacam-macam yang mungkin masih bisa digunakan). Di pasar inilah
Bagus Burham berjumpa dengan Raden kanjeng Gombak, putri Adipati Cakraningrat,
yang kelak menjadi isterinya.
Kemudian Burham dan Ki Tanudjaja
meninggalkan Madiun. Kyai Imam Besari melaporkan peristiwa kepergian Bagus
Burham dan Ki Tanudjaja kepada ayahanda serta neneknya di Solo/Surakarta. Raden
Tumenggung Sastranegara memahami perihal itu, dan meminta kepada Kyai Imam
Besari untuk ikut serta mencarinya. Selanjutnya Ki Jasana dan Ki Kramaleya
diperintahkan mencarinya. Kedua utusan itu akhirnya berhasil menemukan Burham
dan Ki Tanudjaja, lalu diajaknyalah mereka kembali ke Pondok Gebang Tinatar,
untuk melanjutkan berguru kepada Kyai Imam Besari.
Ketika kembali ke Pondok, kenakalan
Bagus Burham tidak mereda. Karena kejengkelannya, maka Kyai Imam Besari
memarahi Bagus Burham. Akhirnya Bagus Burham menyesali perbuatannya dan sungguh-sungguh
menyesal atas tindakannya yang kurang baik itu. Melalui proses kesadaran dan
penghayatan terhadap kenyataan hidupnya itu, Bagus Burham menyadari
perbuatannya dan menyesalkan hal itu. Dengan kesadarannya, ia lalu berusaha
keras untuk menebus ketinggalannya dan berjanji tidak mengulangi kesalahannya,
ia juga berusaha untuk memperhatikan keadaan sekitarnya, yang pada akhirnya
justru mendorongnya untuk mengejar ketinggalan dalam belajar. Dengan demikian
muncul kesadaran baru untuk berbuat baik dan luhur, sesuai dengan kemampuannya.
Sejak saat itu, Bagus Burham belajar
dengan lancar dan cepat, sehingga Kyai Imam Besari dan teman-teman Bagus Burham
menjadi heran atas kemajuan Bagus Burham itu. Dalam waktu singkat, Bagus Burham
mampu melebihi kawan-kawannya. Setelah di Pondok Gebang Tinatar dirasa cukup,
lalu kembali ke Surakarta, dan dididik oleh neneknya sendiri, yaitu Raden
Tumenggung Sastranegara. Neneknya mendidik dengan berbagai ilmu pengetahuan
yang amat berguna baginya. Setelah dikhitan pada tanggal 21 Mei l8l5 Masehi,
Bagus Burham diserahkan kepada Gusti Panembahan Buminata, untuk
mempelajari bidang Jaya-kawijayan (kepandajan untuk menolak suatu perbuatan
jahat atau membuat diri seseorang merniliki suatu kemampuan yang melebihi orang
kebanyakan), kecerdas-an dan kemampuan jiwani.Setelah tamat berguru, Bagus
Burham dipanggil oleh Sri Paduka PB.IV dan dianugerahi restu, yang terdiri dari
tiga tingkatan, yaitu :
Kedua : Pembentukan jiwa seni oleh neneknya sendiri, Raden Tumenggung Sastranagara,
seorang pujangga berpengetahuan luas. Dalam hal pendidikan, RT. Sastranagara
amat terkenal dengan gubahannya Sasana Sunu dan Dasanama Jarwa.
Dari neneknya, Bagus Burham mendapatkan dasar-dasar tentang sastra Jawa.
Pembentukan jiwa seni oleh neneknya sendiri, Raden Tumenggung Sastranagara,
seorang pujangga berpengetahuan luas. Dalam hal pendidikan, RT. Sastranagara
amat terkenal dengan gubahannya Sasana Sunu dan Dasanama Jarwa.
Dari neneknya, Bagus Burham mendapatkan dasar-dasar tentang sastra Jawa.
Ketiga : Pembentukan rasa harga diri, kepercayaan diri dan keteguhan iman diperoleh
dari Gusti Pangeran Harya Buminata. Dari pangeran ini, diperoleh pula ilmu
Jaya-kawijayan, kesaktian dan kanuragan. Proses inilah proses pendewasaan diri,
agar siap dalam terjun kemasyarakat. dan siap menghadapai segala macam
percobaan dan dinamika kehidupan.Bagus Burham secara kontinyu mendapat
pendidikan lahir batin yang sesuai dengan perkembangan sifat-sifat
kodratiahnya, bahkan ditambah dengan pengalamannya terjun mengembara
ketempat-tempat yang dapat menggernbleng pribadinya. Seperti pengalaman ke
Ngadiluwih, Ragajambi dan tanah Bali. Disamping gemblengan orang-orang tersebut
diatas, terdapat pula bangsawan keraton yang juga memberi dorongan kuat untuk
meningkatkan kemampuannya, sehingga karier dan martabatnya semakin meningkat.
Tanggal 28 Oktober 1818, ia diangkat menjadi pegawai keraton dengan jabatan
Carik Kaliwon di Kadipaten Anom, dengan gelar Rangga Pujangga Anom, atau
lazimnya disebut dengan Rangga Panjanganom.
Bersamaan dengan itu, Mas Rangga Panjanganom melaksanakan pernikahan dengan Raden Ajeng Gombak dan diambil anak angkat oleh Gusti panembahan Buminata. Perkawinan dilaksanakan di Buminata. Saat itu usia Bagus Burham 21 tahun. Setelah selapan (35 hari) perkawinan, keduanya berkunjung ke Kediri, dalam hal ini Ki Tanudjaja ikut serta. Setelah berbakti kepada mertua, kemudianBagus Burham mohon untuk berguru ke Bali yang sebelumnya ke Surabaya. Demikian juga berguru kepada Kyai Tunggulwulung di Ngadiluwih, Kyai Ajar Wirakanta di Ragajambi dan Kyai Ajar Sidalaku di Tabanan-Bali. Dalam kesempatan berharga itu, beliau berhasil membawa pulang beberapa catatan peringatan perjalanan dan kumpulan kropak-kropak serta peninggalan lama dari Bali dan Kediri ke Surakarta.
Sekembali dari berguru, ia tinggal di
Surakarta melaksanakan tugas sebagai abdi dalem keraton. Kemudian ia
dianugerahi pangkat Mantri Carik dengan gelar Mas ngabehi Sarataka, pada
tahun 1822. Ketika terjadi perang Diponegoro (th.1825-1830), yaitu ketika jaman
Sri Paduka PB VI, ia diangkat menjadi pegawai keraton sebagai Penewu Carik
Kadipaten Anom dengan gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang
selanjutnya bertempat tinggal di Pasar Kliwon. Dalam kesempatan itu, banyak
sekali siswa-siswanya yang terdiri orang-orang asing, seperti C.F Winter, Jonas
Portier, CH Dowing, Jansen dan lainnya. Dengan CF.Winter, Ranggawarsita
membantu menyusun kitab Paramasastra Jawa dengan judul Paramasastra Jawi.
Dengan Jonas Portier ia membantu penerbitan majalah Bramartani, dalam
kedudukannya sebagai redaktur.Majalah ini pada jaman PB VIII dirubah namanya
menjadi Juru Martani. Namun pada jaman PB IX kembali dirubah menjadi
Bramartani.
Setelah neneknya RT. Sastranegara wafat
pada tanggal 21 April 1844, R.Ng. Ranggawarsita diangkat menjadi Kaliwon
Kadipaten Anom dan menduduki jabatan sebagai Pujangga keraton Surakarta
Hadiningrat pada tahun 1845. Pada tahun ini juga, Ranggawarsita kawin lagi
dengan putri RMP. Jayengmarjasa. Ranggawarsita wafat pada tahun 1873 bulan
Desember hari Rabu pon tanggal 24. Inalilahi waina ilahi rojiun.*
Referensi : http://nurahmad.wordpress.com/wasiat-nusantara/ramalan-7-satria-ronggowarsito/
Tidak ada komentar :
Posting Komentar